Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan memuji R.J. Lino sebagai pemimpin yang sekali langkahnya setara dengan rentang waktu 130 tahun perjalanan Pelabuhan Tanjung Priok.Apa yang dilakukan R.J. Lino hingga kinerja IPC menjadi kinclong? Nucholish M.A. Basyari dari Warta Ekonomi mewawancarai President Director IPC itu di sela-sela ASEAN Global Leadership Program (AGLP) 2012 di Kampus Cheung Kong Graduate School of Business (CKGSB) di Beijing, Cina, akhir Oktober silam. Lino bersama dua manajer senior IPC mengikuti program pelatihan bisnis dan manajemen bergengsi itu. Berikut petikan wawancaranya.
Target pendapatan perseroan?
Kalau terminal I dan II jadi, revenue kami kurang lebih setahun itu Rp20 triliun. Itu tiga kali dari revenue kami hari ini. Jadi, tiba-tiba, company kita punya aset Rp40 triliun. Sekarang asetnya kurang lebih hanya Rp11 triliun.
Bagaimana menjadikan pelabuhan dan industri pelayaran kita sebagai motor pertumbuhan ekonomi?
Kita men-develop apa yang kita namakan Pendulum Nusantara. Pak Dahlan (Meneg BUMN) sudah bicarakan itu. Kita ingin Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) diperbesar dan diperdalam, Surabaya (Pelabuhan Tanjung Perak) juga. Sehingga kapal-kapal besar dari mulai ukuran 3.000 TEUs bisa masuk. (Kapal-kapal besar) Itu bisa berlayar dari Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, sampai Sorong. Sorong akan kita dorong tahun ini. Kalau digambarkan, jalur tersebut seperti pendulum. Jadi, seperti Anda masuk tol lingkar Jakarta, mau keluar pintu mana pun bayarnya sama. Dengan program pendulum itu, nanti freight dari Jakarta ke Belawan dengan Jakarta ke Sorong kurang lebih sama. Sehingga, orang-orang itu tidak usah bangun pabrik di Jawa. Bangun saja pabrik di luar Jawa, kemudian produknya dijual ke Jawa.
Kalau sekarang, karena dibiarkan, Jawa dengan penduduknya diprediksi mencapai 160 juta, itu secara ekonomis lebih dekat ke Cina ketimbang Belawan atau Makassar. Nah, ini bagaimana caranya supaya itu lebih dekat ke Jawa supaya bisa bersaing.
Selain itu, program pendulum juga untuk tetap mempersatukan wilayah-wilayah kita sebagai bagian dari satu Indonesia. Kalau itu dibiarkan (tanpa ada program pendulum seperti itu), orang-orang Aceh, Papua, bisa berpikir ngapain jadi orang Indonesia. Jual ke Jawa saja enggak bisa (karena mahal ongkos angkutnya).
Konsep pendulum itu, kalau nanti jadi, akan mengurangi biaya angkut. Sehingga jarak Jakarta-Sorong dan wilayah lain lebih dekat ke Jawa sehingga bisa bersaing dengan Cina.
Ada gagasan agar kapal asing yang akan masuk ke Indonesia harus ke pelabuhan di luar Jawa karena Pulau Jawa ibarat kamar istri yang tidak boleh dimasuki orang lain?
Saya kira itu keliru, tidak akan bisa berjalan. Tidak akan bisa jadi. Dan, kalaupun itu jadi (diterapkan), akan menjadi mahal kalau dipaksakan begitu. Sekarang ini tidak bisa orang memaksa perusahaan pelayaran. Bisnis itu tidak bisa dipaksakan. Kalau dipaksakan, akan menjadi mahal.
Jadi, program Pendulum Nusantara lebih tepat diterapkan?
Ya, roadmap-nya itu. Makanya, begitu gagasan ini saya bawa ke Pak Dahlan, beliau mengatakan, “Pak Lino, ini Andabikin Sumpah Pemuda kedua nih.” Menyatukan Indonesia.
Industri pelayaran nasional tengah memperjuangkan penerapan asas beyond cabotage (pengiriman barang ekspor dengan kapal berbendera Indonesia dan awaknya berkewarganegaraan Indonesia). Menurut Anda?
Itu yang saya dorong. Jangan hanya berhenti di cabotage, setelah itu dianggap selesai. Kita ingin perusahaan pelayaran nasional kita dengan begitu menjadi kuat dan kompetitif. Kalau hanya cabotage, nanti tidak kompetitif.
Supaya mereka kompetitif, dalam kaitannya dengan pelaksanaan beyond cabotage, harus ada kebijakan yang kondusif, seperti menyangkut kredit dan pajak, supaya mereka punya kondisi yang sama dengan di negara-negara tetangga. Kalau sekarang masih dibiarkan di mana negara-negara tetangga pajaknya bebas, kita tidak punya posisi bersaing yang sama dengan negara tetangga.
Kebijakan seperti itu penting supaya kalau nanti cabotage itu dibuka, dilepas, pelayaran nasional kita bisa bersaing karena kuat.
Pemerintah tidak boleh berpikir hanya berhenti di asas cabotage. Itu harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung guna menciptakan kondisi yang sama dengan yang dialami industri pelayaran di negara-negara lain atau tetangga. Misalnya, soal kebijakan kredit dan pajak. Apalagi kita negara maritim. Juga tentang galangan kapal.
Sumber: wartaekonomi