Artikel ini merupakan repost dari media warta ekonomi (http://wartaekonomi.co.id). Disini terlihat bahwa visi, misi, dan aksi RJ Lino (Dirut IPC) begitu kuat sehingga mampu merombak dan menaikkan performa perusahaan ini. Artikel ini sendiri terbagi ke dalam 3 part.
______________________________________________________________________________________
Di bawah komando Richard Joost Lino, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) menemukan rohnya. R.J. Lino menerapkan serangkaian gebrakan untuk menjadikan Indonesia Port Corporation (IPC) itu maju dengan layanan kelas dunia.
Mula-mula, Lino membenahi manusia yang menakhodai perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) itu agar mereka bermental kuat melayani, bukan dilayani. Jabatan diisi berdasarkan kompetensi, bukan dengan melobi direksi atau pejabat tinggi. IPC pun melakukan investasi besar-besaran di human capitaldevelopment.Lebih dari 500 pegawai dikirim ke berbagai lembaga pendidikan bergengsi di dalam dan luar negeri untuk mengikuti pelatihan, kuliah pascasarjana, dan program executive master of business administration (MBA). IPC juga tengah menyiapkan Kampus Pusat Pelatihan Kepelabuhanan di Ciawi, Bogor, Jawa Barat.
Pembenahan juga merembet ke pelabuhan dan fasilitas pendukungnya. Manajemen membeli alat-alat baru untuk mengganti peralatan lama yang usang. IPC juga menggulirkan sejumlah proyek untuk meng-upgrade pelabuhan, termasuk proyek Pelabuhan Kalibaru, Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Sauh, Batam, untuk menjadi transhipment hub port; dan Pelabuhan Sorong, Papua, untuk menjadi hub port ke kawasan Pasifik Barat.
Memimpin Pelindo II sejak Mei 2009, Lino memutarbalikkan kondisi Pelabuhan Tanjung Priok yang semula “enggak karu-karuan”. Hingga 2008, Tanjung Priok masih bergantung pada Pelabuhan Singapura, Tanjung Pelepas, dan Port Klang (dua terakhir di Malaysia). Ketika itu, pelayaran yang langsung ke Jakarta hanya 35%, selebihnya via tiga pelabuhan tetangga tersebut. Pada 2010, pelayaran langsung ke Tanjung Priok mencapai 71% dan setahun kemudian menjadi 82%.
Arus lalu lintas peti kemas juga tumbuh pesat. Dalam 10 tahun sejak 2000, volume container traffic di Tanjung Priok hanya tumbuh di kisaran 100.000 hingga 200.000 TEUs dari 2,4 juta TEUs per tahun ketika itu menjadi 3,8 juta TEUs pada 2009. Dalam tiga tahun kemudian, angka itu melesat menjadi 4,7 juta TEUs pada 2010, 5,7 juta TEUs pada 2011, dan 7,2 juta TEUs hingga kuartal III-2012.
Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan memuji R.J. Lino sebagai pemimpin yang sekali langkahnya setara dengan rentang waktu 130 tahun perjalanan Pelabuhan Tanjung Priok.
Apa yang dilakukan R.J. Lino hingga kinerja IPC menjadi kinclong? Nucholish M.A. Basyari dari Warta Ekonomimewawancarai President Director IPC itu di sela-sela ASEAN Global Leadership Program (AGLP) 2012 di Kampus Cheung Kong Graduate School of Business (CKGSB) di Beijing, Cina, akhir Oktober silam. Lino bersama dua manajer senior IPC mengikuti program pelatihan bisnis dan manajemen bergengsi itu. Berikut petikan wawancaranya.
Langkah-langkah pembenahan apa yang Anda lakukan?
Begitu saya balik, saya dapatkan perusahaan ini kan kalau lihat mata orang-orangnya seperti mau mati besok. Perusahaan yang tidak ada soul-nya, tidakada jiwanya lagi. Perusahaan kalau tidak ada jiwanya kan susah.
Jadi, yang pertama saya kerjakan ialah bagaimana mengembalikan soul itu ke perusahaan karena tanpa itu enggak bakalan bisa ada energi. Pada waktu itu, tahun 2009, kapal-kapal di Indonesia itu lebih lama di pelabuhan ketimbang berlayar. Padahal kan kapal mestinya lebih banyak berlayar daripada di pelabuhan. Karena seperti taksi, kapal kanmaking money kalau jalan, ada penumpang.
Kalau begini, lama-lama orang tidak ada yang care mengenai produktivitas. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan pelayaran juga tidak berani komplain karena kalau komplain makin dipersulit lagi karena mereka tidak punya pilihan. Akhirnya, yang kena kan masyarakat umum. Cost logistiknya menjadi begitu mahal.
Kemudian yang kedua, tugas saya membereskan produktivitas. Jadi, tidak berpikir pengembangan dulu, tetapi benahi dulu persoalan ini. Salah satunya, saya lihat di lapangan, orang-orang sudah kelamaan memegang suatu jabatan. Kemudian, orang-orang itu kalau tidak dekat dengan direksi tidak mungkin dapat jabatan. Dasarnya itu suka atau tidak suka, bukan kompetensi. Itu yang saya potong. Kebetulan waktu saya memulai, ada satu jabatan general manager di Pelabuhan Panjang yang harus diisi. Saya kan tidak tahu semua orang di perusahaan. Saya minta daftar pegawai yang superstar, yang star, tidak ada daftarnya.
Nah, mapping itu kan butuh waktu. Jadi, yang saya lakukan mula-mula untuk mengisi jabatan tersebut ialah dengan melakukan tender. Siapa yang mau jadi general manager, silakan daftar. Yang mendaftar itu ada 15 orang. Saya kirim ke PPM (Sekolah Tinggi Manajemen PPM) untuk dites mengenai kompetensi. Message yang mau saya sampaikan itu ialah bahwa mulai sekarang berbeda. Semua orang punya peluang bisa dapat jabatan. Tidak ada lagi karena kenal dengan ini atau itu. Yang menentukan adalah kompetensi.
Dari 15 orang itu, muncullah lima orang yang kemudian saya seleksi. Saya cek 360 derajat (penilaian dari atasan, bawahan, dan rekan kerja selevel) dan interview. Tersisa tiga orang. Saya panggil customer besar saya.”Coba kalian pilih menurut kalian siapa yang terbaik dari tiga orang ini.” Mereka kemudian memilih, “Oh, yang ini, Pak.” Saya kemudian langsung teken.
Message yang ingin saya sampaikan, jabatan itu terbuka untuk semua orang. Kalian (pegawai) dari mula harus baik dengan customer. Kalau tidak, tidak bisa naik jabatan.
Itu yang saya lakukan lebih dulu. Karena, di BUMN itu masalah trust di tengah munculnya low trust society. Saya katakan, kita mesti berubah, tidak bisa seperti begini. Kalau kita bilang mesti berubah, tetapi kalau yang jadi panutan tidak berubah, bagaimana orang mau nurut? Jadi, saya mesti mengembalikan trust itu sehingga orang bisa trust kepada saya. Enam bulan pertama betul-betul saya curahkan untuk itu.
Apa kesulitan terbesar yang Anda hadapi?
Untuk itu saya harus membuat beberapa quick win sehingga orang percaya bahwa this guy memang serius untuk memperbaiki keadaan. Pertama, soal jabatan tadi yang terbuka bagi semua pegawai. Kedua, yang saya bereskan, di Priok saat itu, mulai dari pintu masuk pelabuhan sampai kantor saya, kalau bisa ditempuh setengah jam saja sudah untung, karena macet di mana-mana. Dan, semua orang yang saya tanya, mereka bilang kalau dibangun tol ini teratasi.
Saya tidak percaya. Begitu saya lihat di lapangan, masalahnya bukan itu. Masalahnya, masuk di terminal kita di JICT, di situ ada enam pintu masuk dan enam pintu keluar. Kami kerja tiga shift empat grup. Nah, Bea Cukai itu hanya buka satu pintu. Mereka hanya kerja dua shift. Kalau ganti shift, pintunya tutup satu jam. Shalat pintu ditutup. Makan pintu ditutup. Jadi, seperti raja kecil. Bayangkan kalau tutup satu jam, truk sudah antre panjang, kan? Jadi, gara-garanya itu.
Saya kemudian menelepon dirjennya, minta tolong. Dia janji akan kirim orang segera dan saya yakin dia sudah perintahkan untuk kirim orang. Saya nunggu satu minggu belum datang juga. Saya kirim SMS komplain. Dia minta maaf dan berjanji akan mengirim orang. Saya yakin dia menugaskan anak buahnya. Satu minggu lagi belum datang juga. Kesal saya. Ini enggak bener. Teman kok tidak mau bantu. Saya kirim SMS komplain panjang ke Bu Sri Mulyani (Indrawati), Menteri Keuangan. Waktu itu mana ada direksi BUMN berani kirim SMS langsung ke Menteri. Itu kan rajanya sendiri. Begitu saya kirim SMS ke Bu Sri Mulyani, setengah jam kemudian, dirjen dan dua direktur menelepon saya, “Apa yang bisa kita buat?”
Dari situ saya bilang, “Hei, kalian tambah orang. Saya bantuin bikin automatic gate.” Hanya dalam satu minggu, beres semua masalah kemacetan yang sudah berlangsung bertahun-tahun membebani masyarakat. Baru kemudian orang mulai melihat, “Hey this guy can fight better than Bea Cukai’.” Hehehehe.
Lalu?
Saya mulai memutasi orang (pegawai). Dasarnya kompetensi. Saya minta PPM melakukan mapping. Dalam tiga bulan saya sudah punya daftar nama-nama (pegawai) mana yang star, mana yang superstar. Semua orang saya rotasi.
Saya masuk pertengahan Mei (2009), Dalam tiga bulan itu, saya kirim 20 orang lebih untuk belajar yang hampir semuanya ke luar negeri. Karena untuk masuk di post graduate bulan September, itu kan hampir impossible (kalau mendaftar melalui jalur normal setelah Mei). Karena itu, saya bel duta besar kita di Belanda, minta tolong untuk bel ke rektor Erasmus School supaya kita diberi perlakuan khusus. Kemudian saya kirim ke Erasmus School delapan orang. Ada juga yang ke universitas lainnya di Eropa dan Australia. Selama ini kan tidak ada orang dikirim bersekolah ke luar negeri. Ini langsung 20 orang dikirim.
Yang saya pilih itu orang-orang di level senior manager, karena memang orang-orang seperti itu sebenarnya berada dicomfort zone. Pokoknya kalian sekolah, biar ke UI, ITB, atau UGM, pasti saya kirimkan. Hampir 80% mereka yang levelsenior manager saya kirim. Begitu mereka dikirim, bawahannya kan bisa naik. Langsung putus itu. Lama-lama aromanya langsung berubah. Orang-orang saya kirim juga ke seminar atau kegiatan semacamnya di luar negeri. Karena mindset-nya yang harus berubah.
Selama ini kan orang-orang (merasa) begitu (kinerja Pelabuhan Tanjung Priok) lebih baik dari Pelabuhan Surabaya, itu sudah oke. Padahal kan tidak bisa begitu. Kapal datang dari Rotterdam, masuk ke Hong Kong, Singapura, begitu sampai Indonesia, waduh… Kita ingin kriteria…feeling yang sama dengan mereka itu.
Jadi, tantangan terbesar yang Anda hadapi…?
Orang (sumber daya manusianya). Semua itu karena orang.
Itu karena kultur, resistensi, atau…?
Bukan. Karena selama ini juga…. contoh ya, waktu saya dipanggil Pak Sofjan Djalil (Menneg BUMN ketika itu) untukinterview. Saya menyalahkan mengenai kriteria keberhasilan direksi BUMN, terutama di pelabuhan. Saya katakan, kriteria yang Bapak kasih, kalau saya dipilih, saya harus minta ganti kriterianya.
Karena yang diminta itu kriterianya dilihat dari keuntungan. Kalau keuntungan itu hanya melihat jangka pendek. Kalau Anda berinvestasi, ada cost of money, kan? Itu pasti mengurangi profit. Jadi (kalau melihatnya seperti itu), orang berpikir buat apa investasi mengirimkan orang sekolah, mengurangi profit. Yang dikerjakan apa? Cost cutting. Maintenancedikorbankan, pendidikan dikorbankan. Saya katakan, tidak bisa begitu. Kalau saya jadi direksi, saya minta itu diubah. Keuangan hanya 20%, yang 80% lagi mengenai pelayanan. Karena ini monopoli. Kalau monopoli kan gampang sekali. Kriteria itu kemudian diubah.
Dari situ, total saya langsung kerja. Produktivitas didorong. Kerja 24 jam. Dengan kerja 24 jam itu menambah produktivitas menjadi dua kali kan. Dengan gampang lho, tidak usah investasi apa-apa (untuk meningkatkan produktivitas itu). Baru setelah itu, proses kami perbaiki. Yang selama ini hanya ada komputer, bukan ICT (teknologi informasi dan komunikasi), bukan sistem, kemudian kami perkenalkan ICT.
Jadi, sistemnya saya bereskan. Kemudian orangnya mulai saya bereskan. Mindset pegawai kami ubah. Produktivitas saya dorong. Itu dampaknya langsung kelihatan. Kemudian, yang sangat powerful waktu itu, saya betul-betul gunakan teman-teman di media untuk membantu saya. Dan, hebatnya, media di Indonesia itu kan sangat sangat independen (dari campur tangan pemerintah). Apalagi media-media papan atas. Mereka tidak bisa disogok. Dan, kalau mereka tahu bahwa seseorang melakukan sesuatu untuk kepentingan orang banyak, itu pasti dibelain. Menteri-menteri itu orang politiciankan. Mereka itu sangat sensitif kalau dikritik oleh pers kan, sehingga kantornya bisa seharian mengurusi soal itu.
Kemudian, saya membereskan koran-koran kuning (surat kabar dan pihak-pihak yang menyalahgunakan kebebasan pers dan profesi wartawan) di pelabuhan.
Habis itu, semua orang mulai percaya. Saya katakan kepada anak-anak, mulai hari ini saya tidak mau dengar mengenaicost cutting. Selama ini, kalian kalau mau untung banyak bicaranya kan cost cutting. Padahal, cost cutting kan ada batasnya dan tidak meng-energize orang. Saya mau lihat kalian bagaimana creating new business, new opportunity. Lihat, apa yang bisa dibereskan, bereskan, bukan cost cutting.
Habis itu, langsung, pendapatan saya (Pelindo II) naik 30%, 40%. Profitnya seperti itu. Tiga tahun berturut-turut naiknya seperti itu.
Pegawai yang tidak perform dan tidak bisa berubah bagaimana?
Mereka kita masukkan ke kotak. Dalam dua bulan ini, kalau mereka tidak mau keluar, ya kita paksa keluar. Ada sekitar 50 orang. Levelnya ada yang sampai senior manager. Performance-nya jelek, ya kita buang.
Dari aspek kultur perusahaan, pembenahan apa yang Anda lakukan?
Banyak sekali hal yang saya kerjakan, tetapi tidak pernah saya sampaikan kepada semua orang karena mereka pasti tidak akan percaya. Seperti proyek Pelabuhan Kalibaru, misalnya. Waktu itu harus benar-benar one man show. Kalau perusahaan mau maju, memang tidak bisa diperintah secara demokratis. Ada hal-hal yang harus kita paksa untuk dikerjakan asalkan kita percaya apa yang kita kerjakan itu benar.
Belum lagi kalau menghadapi serikat pekerja. Itu kan juga harus bisa kami atasi. Sekarang serikat pekerja di tempat saya itu menjadi teman saya semua. Karena, mereka tahu apa yang saya kerjakan itu dampaknya ke mereka semua. Sehingga kalau serikat pekerja bicara dengan saya, mereka bukan lagi bicara mengenai pendapatan, melainkan bagaimana membantu efisiensi dan peningkatan produktivitas.
Kemudian, saya juga ingin membuat suatu frame yang membuat orang kenal, Lino ini kayak begini orangnya. Saya itu, kalau dengan menteri, dengan DPR, kalau tidak benar, saya lawan. Dan, saya tidak pernah kalah. Wong bidang ini bidang saya kok. Yang lebih tahu saya kok. Bukan masalah mau menang-menangan, melainkan memang ini bidang saya kok. Saya harus lebih tahu daripada semua orang. Sehingga, di DPR itu, terutama Komisi VI, semua partai itu teman-teman saya semua. Semua bantu saya.
Orang mungkin berpikir saya kasih uang ke mereka (DPR). Saya tidak pernah memberi uang ke mana-mana lho. Kalau rapat di Komisi VI, kalau ada Pelindo I, II, III, dan IV, AP (PT Angkasa Pura) I, AP II, kemudian Kereta Api, itu pada dihantam. Bagian saya dipuji semua partai. Kadang-kadang saya enggak enak sendiri.
Tetapi saya tahu, orang-orang seperti di Komisi VI itu kan yang hadir di situ sampai selesai paling-paling 10% kan. Orang-orang itu pasti punya dedikasi. Kalau tidak, tak mungkin mereka duduk di situ. Bahwa mereka cara bertanyanya seperti itu (nadanya seperti menginterogasi dan menjengkelkan), kalau kita bisa menjelaskan dengan benar, mereka bisa terima kok. Dan, kalau ada apa-apa yang ada kaitannya dengan pelabuhan, mereka pasti telepon saya menanyakan bagaimana menyelesaikannya.
Itu semua membuat kerja saya lancar. DPR bantu saya, pers bantu saya, dan hubungan saya dengan semua menteri (BUMN) baik, mulai dari Pak Sofjan Djalil, Pak Mustafa Abubakar, sampai Pak Dahlan Iskan, itu sangat istimewa karena mereka tahu apa yang saya kerjakan.
Jadi, kalau dikatakan bahwa birokrasi bikin sulit, untuk saya tidak ada karena saya bisa telepon mereka. Kalau kaitannya dengan Kementerian Perhubungan, saya bisa telepon Menteri Perhubungan, kalau Kementerian Koordinator Perekonomian, saya bisa telepon Pak Hatta Rajasa. Jadi, di birokrasi itu saya potong-potong dengan cara begitu. Tetapi, orang tahu this guy has very strong character, dia belain orang banyak. Kemudian, beberapa kasus yang saya tunjukkan ke semua orang bahwa saya lawan kalau enggak benar. Seperti kejadian mogok dalam kasus Mbah Priok, itu saya hadapi dan di-manage secara khusus. Kalau tidak, saya jadi victim dari semua sistem itu.
Itu yang mengubah persepsi bahwa pelabuhan itu buruk dan brengsek?
Ya, saya kira sekarang persepsi orang mengenai Pelabuhan Tanjung Priok yang enggak karu-karuan itu sudah berubah. Banyak orang ditengarai memang bisnisnya membuat imej pelabuhan jelek karena di situlah mereka making money. Orang-orang seperti itu harus dilawan. Dan, yang banyak membantu itu pers.
Langkah-langkah riil apa yang dilakukan manajemen untuk mengatasinya?
Yang riil, kami harus bereskan mengenai efisiensi, produktivitas, sehingga customer kita merasa diuntungkan langsung karena itu yang dituntut customer. Selama ini, mereka tidak mendapatkannya. Itu yang harus kami bantu, kami dorong.
Kemudian, saya kan investasi besar-besaran beli alat untuk mendorong peningkatan kinerja pelayanan pelabuhan. Alat-alat (lama) saya ganti semua.
Tetapi, masih ada juga keluhan antrean panjang kapal untuk loading?
Kalau di Tanjung Priok sudah tidak ada lagi (antrean). Tanjung Priok sekarang sudah jauh lebih baik. Sebelum saya masuk, Priok itu hanya bisa disinggahi kapal 3.000 TEUs. Sekarang kapal 5.000 TEUs masuk.
Anda bisa lihat Logistic Performance Index Indonesia pada 2010 kan kita nomor 75 di dunia. Tahun 2012, kita nomor 59, tambah baik 16 nomor. Semua orang bertanya, lho, kok bisa baik sedangkan infrastruktur tidak ada yang dibangun?
Customs, bea cukai, itu dulu nomor 72 jadi nomor 75, tambah jelek. Infrastruktur dari 68 menjadi nomor 92 karena belum membangun apa-apa. Tetapi yang lain, seperti kemudahan untuk shipment, tracing barang ada di mana, kemudian kualitas pelayanan, kecepatan, itu semua improve sehingga membawa Indonesia menjadi nomor 59 tanpa investasi (membangun infrastruktur) apa-apa. Itu karena di Priok sudah bagus. Karena, 70% ekspor-impor Indonesia melalui Priok.Logistic Performance Index kan kaitannya dengan international trade.
Kemudian, KPK (Survei Integritas Sektor Publik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi), kami (PT Pelindo II) dulu tidak pernah punya nomor. Tahun lalu, kami nomor 5 dari 68 BUMN atau instansi pemerintah yang melayani publik.(BERSAMBUNG)
Sumber: wartaekonomi